THRIFTING, LOGISTIK, DAN EKONOMI ‘ABU-ABU’: MENGAPA LARANGAN IMPOR PAKAIAN BEKAS TAK EFEKTIF
Prof. Dr. Ir. Agus Purnomo, M.T., FCILT.
(Professor of Supply Chain Management - Master of Logistics Management Department – Universitas Logistik Dan Bisnis Intenasional – ULBI)
Pintu Masuk yang Bocor
Pemerintah sudah berkali-kali menyatakan bahwa impor pakaian bekas dilarang total melalui Permendag No. 40/2022. Namun di lapangan, pakaian bekas impor tetap berseliweran—dari kios kaki lima hingga lapak digital. Data resmi tahun 2022 mencatat 26,22 ton pakaian bekas masuk dengan nilai lebih dari US$272 ribu, belum termasuk yang masuk melalui jalur non-formal. Penindakan dilakukan, barang dimusnahkan, tetapi barang itu terus kembali seperti air yang menemukan retakan baru.
Publik pun mulai mempertanyakan efektivitas kebijakan ini. Caroline Freund dari Bank Dunia pernah menegaskan, “Logistics are the backbone of global trade.” Logistik adalah tulang punggung yang menentukan apakah kebijakan perdagangan efektif atau hanya sekadar slogan. Di Indonesia, persoalan impor pakaian bekas bukan hanya soal moral atau legalitas; ini adalah persoalan arsitektur logistik yang tak pernah dibedah.
Kita punya aturan, tetapi tidak punya sistem yang benar-benar mengunci jalur masuk dan distribusinya. Celah inilah yang menjadi habitat subur bagi ekonomi abu-abu—praktik ekonomi yang berjalan, menghasilkan uang, tetapi tidak tercatat dan tidak tersentuh pajak maupun regulasi. Di ruang konferensi pers, larangan ini terdengar tegas. Namun di pelabuhan dan marketplace, ia tidak punya daya.
Permendag sudah jelas: pakaian bekas impor adalah barang terlarang (kode HS 6309). Namun fakta berkisah lain. Sepanjang 2023, Kementerian Perdagangan memusnahkan barang sitaan senilai Rp174,8 miliar. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa hanya dalam Januari–Agustus 2025, pakaian bekas impor sudah mencapai 1.243 ton.
Titik lemahnya bukan pada regulasi, tetapi pada logistik: pelabuhan, pergudangan, layanan kurir dan pos, hingga koordinasi antar-instansi yang berjalan sendiri-sendiri. Tanpa pengawasan logistik yang terintegrasi, larangan hanya menjadi poster besar: keras di atas kertas, lunak di lapangan.
Ekonomi Abu-Abu yang Merugikan
Kebocoran logistik melahirkan grey economy, ekosistem ekonomi yang berjalan dan menguntungkan, tetapi tidak tercatat, tidak terawasi, dan tidak berkontribusi pada pajak atau perlindungan pelaku usaha. Di pasar thrifting, uang bergerak, tetapi negara dan industri tidak mendapatkan apa pun selain kerugian struktural. Studi DPR RI menunjukkan bahwa pada 2022, pangsa pasar tekstil lokal merosot 22,73% akibat banjir pakaian bekas ilegal.
Industri tekstil—yang menyerap banyak tenaga kerja dan mencatat ekspor sekitar US$12 miliar—dipaksa bersaing dengan barang bekas yang masuk dalam diam, lebih murah, dan tanpa standar higienitas. Sementara jaringan impor ilegal makin lihai: parcelisation (memecah barang menjadi paket kecil), social commerce, hingga jalur non-formal. Larangan yang hanya fokus pada barang, tanpa membongkar logistiknya, hanya menjadi aspirin untuk penyakit kronis.
Larangan yang Mandul
Melarang impor pakaian bekas adalah langkah yang benar, tetapi berhenti di situ sama saja dengan mengejar bayangan sendiri—banyak gerak, tanpa hasil. Tanpa mengunci rantai logistik dari pelabuhan hingga marketplace, kebijakan ini hanya mengulang pola lama: tegas di podium, kalah di pelabuhan.
Industri tekstil dan UMKM konveksi kehilangan pasar, sementara pedagang thrifting tetap bergerak di ruang ekonomi abu-abu—menghasilkan uang tanpa kepastian hukum atau perlindungan. Negara memiliki pagar hukum, tetapi pagarnya berlubang di banyak titik, dari pengawasan bea cukai hingga distribusi lewat kurir. Selama yang diperangi hanya barang, bukan jalur yang mengalirkannya, larangan ini akan terus mandul: menang di pernyataan, gagal di kenyataan.
Penutup: Legal tapi Berdaya
Pemerintah perlu berhenti sibuk memusnahkan barang sitaan, tetapi membiarkan sistem yang membuat barang itu terus masuk. Pedagang thrifting bukan musuh; yang harus dihentikan adalah rantai logistik gelap yang memasok barang ilegal dari luar negeri.
Solusinya bukan melonggarkan impor—larangan tetap penting dan tidak boleh dinegosiasi—melainkan memberi jalur legal agar pedagang tidak bergantung pada barang ilegal. Pakaian preloved dari dalam negeri dapat dikumpulkan, dikurasi, disterilisasi, dan diproses melalui pusat refurbishing atau recycling yang higienis dan terstandar. Bahkan, pedagang bisa juga menjual garmen produksi dalam negeri—memberi ruang bagi produk lokal untuk bersaing dalam pasar yang sama. Dengan pendekatan ini, thrifting tetap hidup sebagai bagian dari ekonomi sirkular domestik, bukan ekonomi abu-abu yang merusak industri tekstil nasional.
Pada akhirnya, efektivitas kebijakan tidak ditentukan oleh kerasnya larangan, tetapi oleh keberanian mengendalikan logistik yang menopang larangan itu. Sebab kebijakan hanya berarti ketika ia berjalan di pelabuhan—bukan hanya dipresentasikan di podium.
Teaser:
Larangan keras tak akan efektif jika logistiknya bocor—pakaian bekas ilegal tetap masuk, ekonomi abu-abu tetap tumbuh.
"LET'S
JOIN ULBI"
Magister Manajemen
Logistik - “Shaping Future Leaders in Global Logistics”
Learn more by visiting :
https://admission.ulbi.ac.id/s2-magister-manajemen-logistik/
#Thrifting; #Ekonomi
Abu-Abu; #Impor Pakaian Bekas; #Traceability; #Logistik; #Logistics; #Supply Chain Management; #Supply Chain; #Rantai Pasok; #ULBIAcademia;
#PenaAkademikULBI; #EdukasiULBI; #OpiniAkademik; #ArtikelAkademik; #SEO;
#DigitalMarketing
Posting Komentar