Green & Resilient Supply
Chain: Kombinasi Dahsyat Untuk Bisnis Yang Tak Terkalahkan
Oleh :
Prof. Dr. Ir. Agus Purnomo, M.T.,
CMILT.
(Guru Besar Supply Chain Management - Master of Logistics Management
Department – Universitas Logistik Dan Bisnis Intenasional – ULBI)
“According to the World Economic Forum, over 60% of
global supply chains experienced disruptions in the past five years due to
pandemics, cyber-attacks, and extreme weather events.” Fakta ini mungkin
terdengar seperti peringatan dari masa depan, tetapi sesungguhnya sedang kita
alami sekarang. Krisis iklim yang semakin ekstrem, pandemi global, konflik
geopolitik, dan serangan siber sudah menjadi “normal baru” yang menghantam
bisnis dari segala arah. Di Indonesia, distribusi logistik nasional sering kali
terganggu akibat banjir, kebakaran hutan, hingga gangguan sistem digital, yang
menyebabkan kerugian besar dan keterlambatan pengiriman barang vital ke seluruh
pelosok negeri.
Dalam situasi
seperti ini, satu pertanyaan penting perlu kita ajukan: apakah supply chain
bisnis kita benar-benar siap menghadapi dunia yang penuh ketidakpastian?
Kenyataannya, banyak perusahaan masih terjebak dalam pola pikir efisiensi
semata tanpa membangun daya tahan. Padahal, untuk bisa bertahan dan menang
dalam era disrupsi ini, kita tidak hanya butuh supply chain yang cepat dan
murah, tapi juga tangguh dan ramah lingkungan. Inilah saatnya
kita meninjau ulang strategi supply chain secara menyeluruh dan mulai membangun
green resilient supply chain sebagai pondasi masa depan yang
tak tergoyahkan.
Kerapuhan Supply chain: Ancaman Nyata bagi Bisnis
Dalam dunia
bisnis yang semakin kompleks dan tidak pasti, konsep green resilient supply chain menjadi semakin relevan. Menurut Mirzaee, Samarghandi, dan Willoughby (2023), green
resilient supply chain didefinisikan sebagai sistem supply
chain yang dirancang untuk mengurangi dampak gangguan melalui strategi
ketahanan yang terintegrasi dengan praktik ramah lingkungan, seperti
pengurangan emisi karbon dan efisiensi energi.
Kerapuhan supply
chain global telah terbukti menimbulkan dampak besar. Laporan McKinsey (2023) menunjukkan bahwa
gangguan supply chain yang berlangsung lebih dari satu bulan kini terjadi
setiap 3,7 tahun sekali, dengan potensi kerugian hingga 45% dari laba tahunan
perusahaan dalam satu dekade. Di Indonesia, sektor
logistik menghadapi tantangan serupa. Biaya
logistik nasional mencapai 23,5% dari PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan Thailand (15%) dan Malaysia (13%). Faktor-faktor
seperti infrastruktur transportasi yang lemah, regulasi yang kompleks, dan
ketergantungan pada pemasok tunggal memperparah situasi ini. Sebagai contoh, ekspor timah Indonesia anjlok dari 4.700 ton
pada Januari-Februari 2023 menjadi hanya 55,4 ton pada periode yang sama tahun
ini akibat penundaan persetujuan izin kerja tahunan dan kebijakan nasionalisme
sumber daya.
Kondisi ini
menunjukkan bahwa sistem logistik yang tidak siap terhadap disrupsi—baik dari
sisi pasokan maupun teknologi—akan menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi
nasional dan keberlangsungan bisnis jangka panjang. Oleh karena itu, membangun green
resilient supply chain bukan hanya pilihan, tetapi
kebutuhan strategis untuk menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Strategi
Tangguh Hadapi Disrupsi
Untuk
menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam supply chain, perusahaan perlu
mengadopsi strategi yang tidak hanya fokus pada efisiensi, tetapi juga pada
ketahanan dan keberlanjutan. Salah satu pendekatan yang efektif adalah diversifikasi pemasok
dan wilayah produksi. Dengan tidak bergantung pada
satu sumber atau lokasi, perusahaan dapat mengurangi risiko gangguan akibat
bencana alam, konflik geopolitik, atau kebijakan perdagangan yang berubah-ubah.
Sebagai
contoh, Indonesia mengalami penurunan ekspor timah secara drastis, dari 4.700
ton pada Januari-Februari 2023 menjadi hanya 55,4 ton pada periode yang sama
tahun berikutnya, akibat penundaan persetujuan izin kerja tahunan dan kebijakan
nasionalisme sumber daya. Kondisi
ini menunjukkan betapa pentingnya memiliki supply chain yang fleksibel dan
tidak terpusat pada satu sumber.
Selain
diversifikasi, investasi dalam teknologi digital juga menjadi kunci dalam
membangun supply chain yang tangguh dan ramah lingkungan. Teknologi seperti Internet of Things (IoT),
kecerdasan buatan (AI), dan blockchain dapat meningkatkan visibilitas dan
transparansi dalam supply chain, memungkinkan perusahaan untuk memantau
pergerakan barang secara real-time dan merespons gangguan dengan cepat.
Menurut
laporan PwC Indonesia, implementasi National Logistics Ecosystem (NLE) yang
mengintegrasikan layanan logistik melalui platform digital telah membantu
mengurangi biaya logistik nasional dari 24% menjadi 14,29% dari PDB pada tahun
2022. Langkah ini tidak
hanya meningkatkan efisiensi operasional, tetapi juga mendukung praktik bisnis
yang lebih berkelanjutan dengan mengurangi emisi karbon dan penggunaan sumber
daya secara berlebihan.
Dengan
mengadopsi pendekatan green resilient supply chain, perusahaan tidak hanya
mampu bertahan dalam menghadapi berbagai gangguan, tetapi juga berkontribusi
pada pelestarian lingkungan dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Strategi ini memungkinkan perusahaan untuk
tetap kompetitif di pasar global yang semakin menuntut praktik bisnis yang
bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Saatnya
Menangkal Krisis Global
Dunia kini berubah dalam ritme
yang lebih cepat dan tidak terduga—disrupsi bukan lagi sesuatu yang mungkin
terjadi, tetapi sesuatu yang pasti datang. Krisis iklim, konflik geopolitik,
pandemi, dan lonjakan teknologi digital menuntut setiap pelaku bisnis untuk
tidak hanya responsif, tetapi juga visioner. Sehingga, membangun green
& resilient supply chain bukan sekadar inisiatif strategis, melainkan
bentuk investasi masa depan yang tidak bisa ditunda.
Ketangguhan operasional tanpa
fondasi keberlanjutan ibarat benteng pasir di tengah badai; kuat sesaat, namun
mudah runtuh. Sebaliknya, keberlanjutan tanpa ketangguhan menjebak kita dalam
idealisme tanpa daya tahan nyata. Maka, sinergi antara keduanya adalah
satu-satunya cara untuk membentuk supply chain yang benar-benar siap menghadapi
realitas global yang penuh ketidakpastian. Jika ingin bertahan dan tumbuh, kita
harus berhenti memisahkan antara efisiensi, keberlanjutan, dan
ketangguhan—karena ketiganya kini adalah satu paket yang saling menguatkan.
Penutup:
Bangun Masa Depan Bersama
Kini saatnya semua pemangku
kepentingan—pemerintah, pelaku industri, dan akademisi—bergerak dalam satu
irama untuk membangun ekosistem logistik yang adaptif, berbasis data, dan
berwawasan lingkungan. Sinergi lintas sektor menjadi kunci untuk menciptakan solusi
yang bukan hanya reaktif, tetapi proaktif dalam menjawab tantangan masa depan.
Seperti kata Charles Darwin, “It is not the strongest of the species that
survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change”—dan
hal ini kini semakin relevan di dunia bisnis yang penuh disrupsi.
Kita tidak bisa lagi
mengandalkan pendekatan lama di dunia yang serba baru. Mari kita ubah paradigma
supply chain: dari sekadar mengejar efisiensi, menjadi sistem yang tangguh,
transparan, dan berkelanjutan. Karena di era ini, yang kita pertaruhkan bukan
hanya keberhasilan bisnis, tetapi juga masa depan bumi tempat kita hidup dan
generasi yang akan datang.
Magister Manajemen
Logistik - “Shaping Future Leaders in Global Logistics”
Learn more by visiting :
https://admission.ulbi.ac.id/s2-magister-manajemen-logistik/
#Logistik; #Manajemen Logistik; #Logistics; #Supply Chain Management; #Green Resilient Supply Chain; #Resilience; #Sustainability; #Rantai Pasok; #ULBIAcademia; #PenaAkademikULBI; #EdukasiULBI;
#OpiniAkademik; #ArtikelAkademik; #SEO; #DigitalMarketing
Posting Komentar