MENGAPA Rp4.000 TRILIUN HILANG DI RANTAI PASOK GELAP?
Oleh
:
Prof. Dr. Ir. Agus Purnomo, M.T.,
FCILT.
(Professor of Supply Chain Management - Master of Logistics
Management Department – Universitas Logistik Dan Bisnis Intenasional – ULBI)
Bayang-Bayang yang Mahal
Bayangkan
sebuah negara yang membiarkan 23 persen PDB-nya
menguap tanpa pernah disentuh
kebijakan publik. Itulah potret shadow economy: ruang gelap tempat
transaksi tunai tanpa bukti, perdagangan komoditas yang tak pernah dilaporkan,
hingga rantai pasok gelap yang beroperasi tanpa jejak digital. Selama
bertahun-tahun, aktivitas ini berlangsung di balik statistik resmi,
menggerogoti fondasi fiskal tanpa disadari. Ketika Kementerian Keuangan mulai
menelusuri sumber-sumber kebocoran ini melalui data kependudukan, administrasi
perpajakan, dan kecerdasan analitik, negara sesungguhnya sedang menyingkap sisi
gelap yang selama ini dibiarkan tumbuh. Seperti dikatakan Peter Drucker, “If you can’t measure it, you can’t improve it.” Pertanyaannya: bagaimana mungkin Indonesia
mempertahankan ambisi pelabuhan modern, industrialisasi maritim, dan rantai
pasok global, jika data dasarnya sendiri masih remang-remang? Tanpa integrasi
data logistik nasional dan sinergi strategis Kemenkeu–Marves, seluruh
modernisasi yang kita agung-agungkan berisiko tumbang oleh kelemahan struktural
yang tak terlihat—tetapi sangat nyata.
Lubang Anggaran yang Tersembunyi
Shadow
economy bukan sekadar pasar gelap; ia adalah lubang
anggaran raksasa. Dengan porsi 23 persen dari PDB, kebocoran ini
setara lebih dari Rp4.000 triliun—hampir
dua kali anggaran belanja kementerian/lembaga. Data ILO menunjukkan 58
persen tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal, mayoritas
tanpa catatan transaksi atau kontribusi pajak yang memadai. Masalahnya,
sektor-sektor informal ini justru bersinggungan langsung dengan urat nadi
logistik: transportasi, pergudangan, perdagangan, pertanian, dan perikanan.
Sektor-sektor dengan beban pajak rendah dan sistem pelacakan lemah—komposisi
ideal bagi aktivitas gelap untuk berkembang. Akibatnya, negara kehilangan
potensi pajak yang seharusnya menopang pembangunan pelabuhan, tol laut, dan
modernisasi rantai pasok. Inilah ironi besar kita: Indonesia ingin melompat
menjadi negara logistik modern, tetapi pondasi fiskalnya keropos oleh transaksi
yang tak pernah masuk radar resmi.
Rantai Pasok dalam Bayangan
Jika
shadow economy merusak fiskal, pada level rantai pasok dampaknya jauh lebih
destruktif. Laporan OECD Global Trade Without Corruption menegaskan
bahwa rantai pasok yang buram adalah magnet bagi trade
misinvoicing, penyelundupan, dokumen palsu, hingga manipulasi
kualitas barang—masalah global senilai lebih dari US$2
triliun. Indonesia bukan pengecualian. UNODC mencatat kerugian lebih dari Rp300 triliun per tahun akibat penyelundupan komoditas dan
illegal fishing. FAO bahkan menyebut praktik IUU fishing di Indonesia pernah
mencapai 25 persen dari total tangkapan.
Aktivitas ilegal dan “semi-legal” ini berkerumun di titik-titik strategis yang
berada di bawah koordinasi Marves: pelabuhan, logistik, perikanan, energi, dan
mineral. Tanpa integrasi sistem data logistik—e-manifest, bea cukai elektronik,
NLE, hingga monitoring produksi—jalur gelap ini akan terus tumbuh seperti
jaringan bawah tanah. Dampaknya bukan hanya hilangnya pendapatan, tetapi
reputasi rantai pasok nasional yang merosot di mata investor global yang kini
mensyaratkan traceability dan integritas data
sebelum menanamkan modal.
Dua Kementerian, Satu Kunci
Di
sinilah letak inti masalahnya: reformasi shadow
economy mustahil berhasil jika Kemenkeu dan Marves berjalan sendiri-sendiri.
Kemenkeu menguasai data paling strategis—basis kependudukan, coretax, SPT
elektronik, dan bea cukai yang mencatat US$291
miliar perdagangan Indonesia (World Bank, 2023). Sementara itu,
Marves membawahi sektor-sektor tempat shadow economy beroperasi: pelabuhan,
logistik, energi, mineral, dan perikanan. Tidak mengherankan jika lebih dari 90 persen perdagangan Indonesia yang melewati pelabuhan menjadi titik paling
rawan penyimpangan nilai dan praktik misinvoicing. Sistem seperti NLE,
Inaportnet, e-manifest, dan e-customs hanya akan berguna jika kedua kementerian
berbagi data dan sinkron algoritma pengawasan.
Tanpa itu, negara tak mungkin memadankan arus barang dengan arus pajak,
mengidentifikasi pola penyelundupan, atau menutup celah rantai pasok yang
dimanfaatkan jaringan ekonomi gelap. Simpulnya jelas: Kemenkeu membutuhkan data operasional Marves, dan Marves
membutuhkan data fiskal Kemenkeu. Tanpa interkoneksi ini, rantai
pasok Indonesia akan tetap menjadi rumah bagi manipulasi, kebocoran, dan risiko
kepatuhan ESG yang dapat menghambat investasi global.
Penutup: Menerangi Jalur Gelap
Indonesia
berada di titik kritis. Di satu sisi, ada ambisi besar: hilirisasi,
industrialisasi maritim, dan modernisasi logistik. Di sisi lain, ada kenyataan
pahit bahwa sebagian besar aktivitas ekonomi masih bergerak dalam
gelap—mengaburkan data, merusak perencanaan, dan melemahkan kemampuan fiskal.
Karena itu, langkah pertama yang wajib dilakukan adalah membangun data backbone nasional: menyatukan data
kependudukan, perpajakan, bea cukai, dan logistik dalam satu sistem yang bisa
saling memverifikasi dan saling mengunci. Negara-negara dengan rantai pasok
paling tangguh bukan hanya memiliki pelabuhan canggih, tetapi juga memiliki sistem data terpadu
yang melacak setiap pergerakan barang dari hulu sampai hilir.
Langkah
selanjutnya menuntut keberanian politik: membentuk Joint
Supply Chain Intelligence Unit (J-SCIU)—pusat analitik nasional yang
menggabungkan big data, intelijen rantai pasok, dan audit traceability yang
melibatkan Marves, Kemenkeu, Bea Cukai, Perhubungan, Perindustrian, hingga
aparat penegak hukum. Satuan ini bisa menjadi benteng untuk memutus jalur
ilegal, membongkar manipulasi komoditas, dan membersihkan simpul logistik
Indonesia. Pada akhirnya, pertanyaannya sederhana tetapi menentukan: apakah kita berani menjadi negara maritim dan manufaktur
besar jika sebagian ekonomi kita masih beroperasi dalam gelap? Masa
depan rantai pasok nasional, kedaulatan fiskal, dan daya saing global Indonesia
hanya dapat dibangun jika seluruh aktivitas ekonomi—resmi maupun
informal—dibawa ke dalam terang data yang akurat, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Teaser:
Rp4.000 triliun
hilang dari ekonomi Indonesia setiap tahun. Rantai pasok gelap, penyelundupan,
dan data yang tak terhubung menjadi biang kerok yang melemahkan fiskal dan
logistik nasional.
"LET'S JOIN ULBI"
Magister
Manajemen Logistik - “Shaping Future Leaders in Global Logistics”
Learn more by visiting :
https://admission.ulbi.ac.id/s2-magister-manajemen-logistik/
https://ulbi.ac.id/
#Shadow Economy; #Penyelundupan;
#Data Nasional; #Kemenkeu; #Marves; #Hilirisasi; #Logistik; #Logistics; #Supply Chain Management; #Supply Chain; #Rantai Pasok; #ULBIAcademia; #PenaAkademikULBI;
#EdukasiULBI; #OpiniAkademik; #ArtikelAkademik; #SEO; #DigitalMarketing
Posting Komentar